Searching...
Minggu, 22 Februari 2015

Komersialisasi Pendidikan

Komersialisasi Pendidikan

Keluhan datang bertubi-tubi dari orang tua murid. Mereka mengeluhkan besarnya biaya sekolah negeri dan swasta yang sama-sama "ganas" dalam melakukan pungutan.


Istilah komersialisasi pendidikan belakangan ini menjadi perhatian. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, keluhan komersialisai pendidikan tahun ini lebih masif. Unjuk rasa masyarakat mengatasnamakan keluhan orang tua murid.


Pemerintah telah menegaskan bahwa pungutan boleh dilakukan asalkan terkendali dan tidak bersifat komersial.


Resahnya para orang tua mengingatkan para pengambil keputusan. Kendati Indonesia telah puluhan tahun merdeka, belum pernah masalah pendidikan ditangani secara serius. Belum selesai tentang masalah ujian, muncul persoalan kurikulum, kemerosotan mutu, dan sebagainya.


Memang ada langkah maju setapak setelah era reformasi bila dibandingkan dengan era sebelumnya. Dulu baru sebatas pentingnya pendidikan (pengembangan SDM), kini ada penambahan alokasi anggaran untuk pendidikan.


Untuk itu, tak perlu kaget saat Jepang mengalokasikan anggaran pendidikan hingga seratus kali lipat dibandingkan Indonesia. Sebaliknya, harus kaget saaat Bangladesh, yang merupakan negara kecil mengalokasikan anggaran pendidikan 2,9 persen dari anggaran nasional mereka. Sementara itu, Indonesia di era yang bersamaan hanya 1,4 persen.


Saat pemerintah juga melakukan praktik yang sama, muncul pertanyaan, negeri dan swasta kok sama? Lembaga-lembaga sekolah negeri sepertinya ikut "ganas" dalam melakukan berbagai macam pungutan. Anggaran cukup bukanlah segala-galanya.


Ketersediaan anggaran baru memenuhi salah satu dari sejumlah persyaratan praksis pendidikan. Tetapi, ketersediaan anggara mencerminkan keseriusan perhatian, keberanian dalam memberikan prioritas, dan sesuatu yang tak terselesaikan hanya menjadi wacana yang berkepanjangan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Back to top!